canon
Habis Gelap Terbitlah Terang
Selasa, 16 Juli 2013
Senin, 31 Desember 2012
Fitnah
Itu Akhirnya Terungkap (WTC Tragedy)
Z.A. Maulani
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Pendahuluan
Bagian pertama dari makalah ini . `Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah'. mengungkap berbagai fakta yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr. Alberto D. Pastore Ph.D., berjudul ‘Stranger Than Fiction’, yang menceritakan bagaimana peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan atas gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. Pada tanggal 11 September 2001.
Perbuatan keji itu dinisbahkan kepada 19 orang "teroris Islam" dari Al- Qaidah dan para pendukungnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk konon menurut fitnah itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai pimpinan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari ini para “teroris Islam” itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan pengadilan oleh pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.
Dua orang pejabat negara yang melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq (2004), mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael Meacher, dan mantan menteri keuangan pemerintah Bush, Paul O’Neill mengungkapkan fakta, berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi motivasi sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada tanggal 11 September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum muslimin.
Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut sebagai “musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin”.
Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan artikel, ’Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’ (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rejim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).
Selain itu, atas pertanyaan wartawati Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush mengakui serangan terhadap Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11 September 2001, serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah Amerika Serikat jauh sebelumnya.
Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih “perang membasmi terorisme”, Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan “menampung kelompok teroris Al Qaidah”.
Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.
(Mantan Kepala Badan Intelijen Negara/KABAKIN)
Pendahuluan
Bagian pertama dari makalah ini . `Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah'. mengungkap berbagai fakta yang menjadi dasar ditulisnya E-book Prof. Dr. Alberto D. Pastore Ph.D., berjudul ‘Stranger Than Fiction’, yang menceritakan bagaimana peran secara sangat detil dari dinas rahasia Israel Mossad, yang menggarap sejak perencanaan sampai dengan pelaksanaan aksi serangan atas gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. Pada tanggal 11 September 2001.
Perbuatan keji itu dinisbahkan kepada 19 orang "teroris Islam" dari Al- Qaidah dan para pendukungnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk konon menurut fitnah itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, sebagai pimpinan organisasi teroris regional Jama’ah Islamiyyah (JI). Sampai dengan hari ini para “teroris Islam” itu tidak satu pun yang berhasil diajukan ke depan pengadilan oleh pemerintah Amerika Serikat, karena mereka memang tidak ada.
Dua orang pejabat negara yang melakukan invasi ke Afghanistan (2002) dan Iraq (2004), mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair, Michael Meacher, dan mantan menteri keuangan pemerintah Bush, Paul O’Neill mengungkapkan fakta, berdasarkan kejujuran mereka, tentang apa yang menjadi motivasi sebenarnya sampai Afghanistan dan Iraq diserbu dan dijadikan jajahan oleh Amerika, dan apa dan bagaimana cerita kejadian sebelum, pada tanggal 11 September 2001, dan sesudahnya, yang telah dijadikan alasan untuk melakukan stigmatisasi negatif terhadap Dunia Islam dan kaum muslimin.
Pada bagian kedua makalah ini, diturunkan kutipan tulisan dari Michael Meacher, mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair dari Mei 1997 sampai Juni 2003 (6 tahun). Meacher menurunkan segenap pengetahuannya dalam sebuah kolom 'This War on Terrorism is Bogus', di koran Guardian, London, edisi 6 September 2003, dalam rangka memperingati dua tahun kejadian 11 September 2001, yang oleh mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad disebut sebagai “musibah (fitnah) yang sempurna atas kaum muslimin”.
Sedang pada bagian ketiga adalah hasil wawancara wartawati Margaret Neighbour dari koran The Scotsman, dengan artikel, ’Bush Admits He Wanted Regime Change Before 11 September’ (Bush Mengakui Ia Memang Menginginkan Penumbangan Rejim Sebelum 11 September 2001), yang terbit pada tanggal 13 Januari 2004, yang diilhami oleh buku Paul O'Neill "The Price of Loyalty" (2003).
Selain itu, atas pertanyaan wartawati Margaret Neighbour, terungkap bahwa Bush mengakui serangan terhadap Afghanistan dan Iraq dengan menjadikan peristiwa 11 September 2001, serangan terhadap gedung-kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington DC. sebagai dalih, telah direncanakan oleh pemerintah Amerika Serikat jauh sebelumnya.
Perang Membasmi Terorisme Ternyata Fitnah Tanpa ambil pusing untuk melakukan pembuktian tuduhannya, dengan dalih “perang membasmi terorisme”, Amerika Serikat menempatkan kaum muslimin di seluruh dunia menjadi sasaran pendzaliman. Afghanistan, negeri muslim yang miskin, diratakan jadi arang dengan “carpet bombing”, karena dosa Afghanistan “menampung kelompok teroris Al Qaidah”.
Publik dipaksa untuk melupakan kenyataan bahwa yang mendukung Al Qaidah, melatih dan membiayai, dan menempatkan mereka di Afghanistan sejak tahun 1979, adalah Amerika Serikat sendiri, persisnya Central Intelligence Agency (CIA), dalam rangka memerangi Uni Sovyet di negeri miskin tersebut.
Sesudah Afghanistan, kemudian Iraq menyusul dihabisi dan dijajah dengan dalih Iraq mengembangkan dan menyimpan “senjata-pemusnah-massal”, berdiri di belakang serangan 11 September 2001, dan mendukung serta melindungi Al- Qaidah.
Pada tanggal 28 Januari 2002, di depan Kongres Amerika Serikat, presiden Bush melaporkan, “The British government has learned that Saddam Husein recently sought significant quantities of uranium from Africa” (Pemerintah Inggeris telah berhasil mengetahui bahwa Saddam Hussein baru-baru ini telah mengusahakan (untuk mendapatkan) sejumlah besar uranium dari
Afrika).
Enambelas butir kata yang kini menjadi gunjingan orang banyak itu kini ternyata didasarkan pada dokumen yang palsu, atau dipalsukan, yang digunakan sebagai dalih oleh Presiden Bush untuk mengelabui rakyat dan Kongres Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan melibas Iraq.
Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam pidatonya di depan Parlemen Westminster sebelum serangan ke
Kalau sekiranya tuduhan itu benar, maka serangan terhadap
Sebenarnya direktur CIA, George Tenet, empat bulan sebelumnya pada bulan Oktober 2003, secara pribadi pernah dua kali mengirimkan memo kepada Gedung Putih agar menghapus “16-kata” itu dari konsep pidato Presiden Bush yang menuduh Iraq telah mengusahakan untuk “membeli lima ratus ton uranium-oksida” dari Niger.
Ketika usaha Tenet itu gagal, CIA menyatakan tidak ikut bertanggung jawab dengan “informasi intelijen” itu, karena diketahui didasarkan pada dokumen dan informasi palsu. Tetapi para pembantu dekat presiden Bush tetap menekan CIA agar mengeluarkan analisis yang nadanya mendukung “temuan” Presiden Bush itu.
(‘The Amazing Stories of Condoleezza Rice', http://www.buzzflash.com, July 3, 2003).
Dewan Keamanan PBB, ketika mendengar laporan menteri luar-negeri Collin Powell, menolak informasi tentang upaya Iraq membeli uranium-oksida itu, karena diketahui isi dokumen itu memuat banyak ketidakcermatan yang mencurigakan.
Antara lain sebagai contoh, presiden
Karena kecaman yang bertubi-tubi terhadap kesemberonoan Presiden Bush menggunakan intelijen yang tidak akurat, maka untuk mengatasi serangan itu pada bulan Mei 2003, menjelang dinyatakan berakhirnya operasi di Iraq, kembali Bush mengumbar kebohongan,
“We’ve found the
weapons of mass destruction. You know, we found biological laboratories. And
we’ll find more weapons as time goes on. But for those who say we haven’t found
the banned manufacturing devices or banned weapons, they’re wrong. We found
them”
(Kita telah menemukan
senjata senjata pemusnah massal itu. Kita telah menemukan laboratorium
senjata-senjata kimia. Dan kita akan menemukan lebih banyak lagi senjata dengan
berjalannya waktu. Mereka yang mengatakan kita belum menemukan pabrik alat-alat
atau senjata terlarang itu, mereka keliru. Kita telah menemukannya).
Sampai hari ini nyatanya pasukan Amerika dan Inggeris di Iraq belum juga berhasil menemukannya \(The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).
Kini fitnah busuk itu terungkap satu per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab.
Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George's Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip olehhttp://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)
Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.
Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu (“... they had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were
considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedungkembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.
Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC diNew York
dan gedung Pentagon di Washington DC., melibatkan “orang dalam”, yang mencakup
personel angkatan udara Amerika Serikat, Pentagon, CIA, dan Mossad. Bersamaan
dengan itu para ahli demolisi Amerika juga menengarai gedung WTC New York
tersebut tidak mungkin akan runtuh sedemikian rapi tanpa merusak gedung-gedung
di sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pemerintah Amerika Serikat, yaitu
disebabkan oleh tabrakan pesawat.
Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedungkembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan . “tidak ada kaitan apa pun antaraIraq dengan Al Qaidah, dan tidak ada kaitan apa
pun antara Iraq
dengan peristiwa serangan tanggal 11 September 2001”. Nasi telah menjadi bubur Iraq sejak 19
Maret 2003 telah menjadi negeri jajahan Amerika.
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan . keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan untuk menyerangIraq
. ketika ditanya pers tentang senjata-senjata Iraq itu pada 24 Juli 2003, dengan
enteng menjawab, “Well, kami tidak tahu kemana mencarinya, dan tidak akan pernah
tahu dimana barang itu.” (William Pitt, ‘Though Heavens Fall’, July 25, 2003)
Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong * Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan . mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadapIraq ,
dan pertanyaan itu juga ditujukan kepada Inggeris. Penjelasan resmi selama ini
ialah bahwa setelah gedung-kembar World Trade Center di New York dihantam dan
dihancurkan oleh dua buah pesawat bunuh-diri pada 11 September 2001, maka
tindak balasan terhadap Al Qaidah yang berpangkalan di Afghanistan merupakan
langkah pertama yang dinilai wajar dalam rangka perang global membasmi
terorisme.
Kemudian, karena Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggeris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas keIraq .
Namun teori tersebut tidak cocok dengan kenyataan yang ada. Kebenaran
barangkali akan jauh lebih kelam.
Sampai hari ini nyatanya pasukan Amerika dan Inggeris di Iraq belum juga berhasil menemukannya \(The Independent Institute, ‘Preemptive War Strategy: A New US Empire?’, http://www.independent.org , July 26, 2003).
Kini fitnah busuk itu terungkap satu per satu. Dari lembaga resmi militer Amerika Serikat, The Armed Forces Institute of Pathology (AFIP), berdasarkan hasil pemeriksaan mereka atas daftar manifes penumpang pesawat, yang konon “dibajak oleh 19 orang teroris Arab”, dan dari hasil otopsi pada tanggal 16 Nopember 2001 terhadap 189 korban para penumpang pesawat, ternyata baik dari daftar manifes penumpang maupun dari otopsi jenazah para korban, AFIP menyatakan tidak menemukan satu pun nama orang Arab, atau jenazah orang Arab.
Satu-satunya yang ada kaitannya dengan orang Arab, mereka adalah kambing-hitam pemerintah Amerika Serikat (The Prince George's Journal, Maryland, ‘Operation 911: No Suicide Pilots’, edisi September 18, 2001, dikutip olehhttp://www.serendipity.li/wtc.html, July 14, 2003)
Cerita tentang 19 orang “teroris Islam” Al-Qaidah yang oleh intelijen Amerika Serikat disebut-sebut berhasil menyusup dan menguasai pesawat dan menghunjamkannya ke gedung-kembar WTC itu, kini seluruhnya ternyata cerita isapan jempol, yang digunakan untuk menghasut kecurigaan terhadap kaum muslimin sedunia tanpa kecuali, termasuk terhadap kaum muslimin di Indonesia.
Nama Muhammad Atta, Marwan Al-Sehhi, dan Hani Hanjour, yang konon dikatakan sebagai para pilot berkebangsaan Saudi yang berhasil membajak, kemudian mengemudikan dan menabrakkan pesawat-pesawat Boeing 767 ke gedung-kembar WTC di New York dan Pentagon di Washington DC., menurut Marcel Bernard, instruktur pada pusat pendidikan penerbangan dimana ketiga “pilot” itu pernah menjalani latihan mereka, konon dikatakan, jangankan menerbangkan pesawat jet berbadan lebar dan canggih seperti Boeing-767, mereka itu untuk menerbangkan pesawat kecil tipe Cessna 172 saja secara solo, oleh para instukturnya dinilai tidak mampu (“... they had received pilot training . with courtesy of the CIA (?) . but were
considered by their flying instructors to be incompetent to fly even light single-engine planes”) (Ibid.)
Para analis yang meneliti kasus peristiwa serangan dan hancurnya gedungkembar WTC itu mencurigai pesawat-pesawat nahas itu kemungkinan dikemudikan dengan alat ‘remote control’ dan diledakkan secara otomatis dengan alat yang memang telah terpasang pada setiap pesawat komersial oleh aparat keamanan penerbangan federal sebagai tindakan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan kontinjensi bilamana sewaktu-waktu pesawat dibajak.
Kesimpulan itu makin memperkuat analisis bahwa serangan terhadap gedung-kembar WTC di
Bila hanya oleh tabrakan pesawat, para ahli demolisi itu menyimpulkan gedungkembar WTC itu sebagian masih akan tersisa, meskipun mereka mempercayai gedung-kembar berlantai 110 setinggi 415 meter itu telah didesain dan dibangun oleh para arsitek Minoru Yamasaki, John Skilling, dan Leslie Robertson sebagai bangunan tahan gempa, tahan tornado, dan diilhami novel Tom Clancy yang mengisahkan hancurnya sebuah gedung pencakar langit karena ditabrak oleh sebuah pesawat teroris, maka ketiga arsitek kondang itu mendesain gedung-kembar WTC juga tahan tabrakan pesawat.
Menurut para ahli demolisi itu, cara runtuhnya dan habisnya gedung-kembar WTC itu memperlihatkan ciri-ciri, apa yang mereka sebut ‘controlled demolition’ dari dalam, oleh orang-orang yang paham benar tentang konstruksi bangunan WTC, dengan memakai teknik yang digunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tua tanpa perlu membahayakan lingkungan di sekitarnya. Gedung Pentagon yang konon disebut-sebut ditabrak pesawat Boeing 767 juga tidak memperlihatkan adanya puing-puing pesawat, atau isi perut pesawat yang berserakan berupa barang-barang penumpang dan sebagainya sebagaimana layaknya bila ada pesawat yang jatuh. Pendek kata, semua itu dalam bahasa Amerika, cerita tentang ulah teroris Arab itu, “too good to be true” (Ibid.)
Hasil dari Komisi Penyelidikan Gabungan Kongres (Joint Congress Inguiry) yang dikeluarkan pada tanggal 24 Juli 2003 baru-baru ini menyatakan, penyelidikan mereka tiba pada kesimpulan . “tidak ada kaitan apa pun antara
Dan tentang fitnah keempat, tuduhan Washington bahwa Iraq memiliki seabreg senjata-pemusnah-massal yang menjadi dasar alasan invasi Amerika menghabisi Iraq, ketika Richard Perle, tokoh Yahudi dan mantan ketua dan masih menjadi anggota dari the Defense Policy Board Pentagon, bersama tokoh Yahudi lain, Paul Wolfowitz, deputi menteri pertahanan . keduanya disebut-sebut berdiri di belakang pencetus keputusan untuk menyerang
Perang Membasmi Terorisme Hanya Omong-Kosong * Perhatian besar tengah disorotkan kepada pertanyaan . mengapa Amerika Serikat melancarkan perang terhadap
Kemudian, karena Saddam Hussein oleh Amerika Serikat dan Inggeris dituduh menyimpan senjata-pemusnah-massal (WMD), maka perang tentu saja harus diperluas ke
Masyarakat dunia kini
telah mengetahui bahwa sebuah cetak-biru untuk pembentukan Pax Americana yang
mengglobal telah disiapkan untuk (waktu itu) menteri pertahanan Dick Cheney
(sekarang wakil presiden), Donald Rumsfeld (sekarang menteri pertahanan), Paul
Wolfowitz (deputi menteri pertahanan), Jeb Bush (adik Presiden Bush), dan Libby
Lewis (kepala staf wakil presiden). Dokumen itu, yang diberi judul ‘Membangun
Kembali Pertahanan Amerika’, selesai ditulis pada bulan September 2000 (satu
tahun sebelum peristiwa 11 September 2001) oleh kelompok think-tank neo-kon,
Project for the New American Century (PNAC).
Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik diIraq yang tak
terselesaikan memberikan pembenaran, kebutuhan akan kehadiran dengan kekuatan
yang memadai dari pasukan Amerika di kawasan Teluk melahirkan persoalan tentang
rejim Saddam Hussein”.
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan, Amerika Serikat harus “mencegah negaranegara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar”.
Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB”.
Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap dipelihara .. karena “Iran
akan menjadi ancaman besar terhadap kepentingan Amerika Serikat seperti yang
pernah dilakukan oleh Iraq ”.
Dokumen itu juga menyoroti Cina untuk dilakukan “perubahan rejim”, dengan
menyatakan bahwa “sekarang sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran
militer Amerika Serikat di Asia Tenggara”, yang kemudian menjadi dasar untuk
membuka apa yang disebut oleh Presiden Bush “front kedua perang membasmi
terorisme di Asia Tenggara”, yang menjadi pretext untuk masuk ke Asia Tenggara.
Dalih “front kedua” itu disebutkan untuk menghancurkan organisasi teroris
regional Jama’ah Islamiyyah.
Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya modus serangan WTC New York oleh “teroris”. Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruangangkasa” untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.
Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, danIran , sebagai rejim yang berbahaya
. ‘axis of evil’ . dan menyatakan adanya rejim-rejim itu membenarkan akan
kebutuhan “sistem komando dan kendali yang mendunia”. Dokumen itu benar-benar
memuat cetak-biru penguasaan dunia oleh Amerika Serikat. Namun sebelum dokumen
itu kita tepis sebagai mimpi fantasi kaum sayap kanan yang sebagian besarnya
orang Yahudi, dokumen itu secara jelas menjadi sumber keterangan yang baik
tentang apa sebenarnya yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah 11 September
2001
tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini.
Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Yang lebih aneh lagi . dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme . pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh diPennsylvania
pada pukul 10.06 pagi.
Rencana dalam dokumen itu memperlihatkan niat dari kabinet Bush untuk menguasai kawasan Teluk secara militer tidak penting apakah Saddam Hussein masih berkuasa atau tidak. Dokumen itu menyatakan “sementara konflik di
Cetak-biru dari PNAC itu mendukung dokumen sebelumnya yang dipersiapkan oleh Paul Wolfowitz dan Libby Lewis, ‘To Rebuild America’s Defense’, yang menyatakan, Amerika Serikat harus “mencegah negaranegara industri maju sampai menantang kepemimpinan kita atau bahkan mencita-citakan untuk menjalankan peran regional atau global yang lebih besar”.
Dokumen itu menjelaskan tugas-tugas pemeliharaan perdamaian dunia “menuntut kepemimpinan politik Amerika Serikat ketimbang kepemimpinan PBB”.
Dokumen itu selanjutnya menyatakan “bahkan kalaupun Saddam Hussein tidak lagi berperan di arena”, pangkalan-pangkalan militer di Saudi Arabia dan Kuwait harus tetap dipelihara .. karena “
Guna memperkuat tuduhan itu lalu “Bom Bali” dipasang, seperti halnya modus serangan WTC New York oleh “teroris”. Dokumen itu juga menyerukan perlunya pembentukan “kekuatan ruangangkasa” untuk mendominasi ruang-angkasa, dan penguasaan mutlak atas ruang-cybernet dalam rangka mencegah “musuh-musuh Amerika” memanfaatkan internet terhadap kepentingan Amerika Serikat. Dokumen itu kemudian menyarankan agar Amerika Serikat mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata kuman “yang dapat menyerang sasaran jenis gen tertentu (dan) barangkali dapat mengubah peperangan kuman dari senjata teror menjadi alat politik yang bermanfaat”.
Akhirnya, dokumen yang disiapkan setahun sebelum peristiwa 11 September 2001, menunjuk Korea Utara, Suriah, dan
tentang thesis perang global terhadap terorisme yang digembar-gemborkan selama ini.
Hal ini akan terlihat dengan gamblang dalam beberapa tahun mendatang ini.
Pertama, sudah jelas para pejabat berwenang Amerika Serikat sama sekali, atau tidak banyak bertindak, untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001. Telah diketahui paling tidak ada 11 negara yang pernah memberikan peringatan dini kepada pemerintah Amerika Serikat tentang akan adanya serangan pada tanggal 11 September 2001.
Yang lebih aneh lagi . dilihat dari kaca-mata perang terhadap terorisme . pada hari dimana terjadi serangan 11 September 2001 itu, tampak reaksi yang sedemikian lambannya dari pemerintah dan pejabat berwenang Amerika Serikat. Pembajakan pesawat pertama diduga terjadi pada pukul 08.20 pagi, dan pesawat bajakan terakhir yang jatuh di
Terhadap kenyataan tersebut tidak satu pun pesawat burusergap yang menyambang dari pangkalan angkatan udara Andrews, yang jauhnya hanya 15 kilometer dari ibukota Washington DC., sampai pesawat ketiga menabrak Pentagon pada pukul 09.38 pagi. Mengapa tidak pernah ada reaksi?
Apakah kelambanan itu hanya karena ada tokoh-tokoh kunci yang mengabaikan, atau bersikap masa bodoh ? Atau apakah operasi pertahanan udara Amerika Serikat secara sengaja lengah pada tanggal 11 September 2001 itu ? Kalau demikian halnya, mengapa dan atas perintah siapa ? Mantan jaksa federal Amerika Serikat, John Loftus, mengatakan, “Informasi yang disampaikan oleh badanbadan intelijen Eropa sebelum tanggal 11 September 2001 demikian luasnya, sehingga sebenarnya tidak mungkin FBI atau pun CIA berlindung di belakang dalih bahwa hal itu sampai bisa terjadi karena ketidak-mampuan mereka”.
Juga tanggapan pemerintah Amerika Serikat terhadap peristiwa 11 September 2001 tidaklah lebih baik. Tidak telihat ada usaha yang sungguhsungguh dari pemerintah Amerika Serikat untuk menangkap Osamah bin Ladin. Pada akhir bulan September atau awal Oktober 2001 pimpinan dari dua partai Islam
pemerintah Amerika Serikat dengan ketus berucap, “Tindakan sembrono dapat menimbulkan resiko buyarnya usaha internasional sekiranya Osamah bin Ladin sampai tertangkap”.
Ketua Gabungan Kepala Staf Amerika Serikat, Jenderal Myers, berkata lebih lanjut, “tujuan kita bukan untuk menangkap Osama bin Ladin” (AP, April 5, 2002). Pernyataan itu dikuatkan oleh seorang agen FBI dalam wawancara dengan teve ABC News, bahwa “FBI headquarters wanted no arrests” (FBI tidak berniat untuk menangkap siapa pun) (ABC News, December 19, 2002).
Dan pada bulan November 2001 angkatan udara Amerika Serikat mengeluh mereka telah 10 kali menemukan tempat bersembunyi pimpinan Taliban dan AI-Qaidah, tetapi mereka tidak bisa melakukan serangan karena izin untuk itu tidak dapat diperoleh pada waktunya (Majalah TIME, May 13, 2002).
Tidak satu pun dari bukti-bukti yang terkumpul ini, yang semuanya berasal dari para pejabat pemerintah sendiri, seperti gemuruhnya gembar-gembor tentang “perang membasmi terorisme”.
Daftar bukti itu sesuai benar dengan cetak-biru dari PNAC. Dari gambaran di atas tadi nampaknya apa yang disebut “perang membasmi terorisme” itu digunakan sebagian besar hanya sebagai isapan jempol untuk menutupnutupi tujuan strategis geopolitik Amerika Serikat yang sesungguhnya. Tony Blair sendiri tentang hal itu mengisyaratkan ketika ia memberikan kesaksian di depan Komisi Hubungan Majelis Rendah Inggeris, “Sejujurnya saja, kita tidak akan mungkin memperoleh persetujuan rakyat secara mendadak untuk melancarkan kampanye militer di Afghanistan, terkecuali dengan mengkaitkan alasannya dengan apa yang terjadi pada tanggal 11 September 2001” (
Menteri pertahanan Donald Rumsfeld sama gigihnya mencari-cari alasan tentang invasi ke Iraq, sehingga pada 10 kali peristiwa terpisah meminta kepada CIA untuk menemukan bukti yang dapat menghubungkan Iraq dengan perisitwa 11 September 2001. CIA kembali setiap kali dengan tangan hampa (Majalah TIME, May 13, 2002).
Peristiwa 11 September 2001 menciptakan dalih yang sangat pas bagi pelaksanaan rencana PNAC. Bukti yang kini terungkap sangat jelas bahwa rencana tindakan militer atas Afghanistan dan Iraq, bahkan negara-negara di Timur Tengah lainnya, telah dirancang jauh sebelum terjadi peristiwa 11 September 2001. Sebuah laporan yang disiapkan untuk pemerintah Amerika Serikat oleh Baker Institute of Public Policy yang diterbitkan pada bulan April 2001 menyatakan, “Amerika Serikat terperangkap oleh dilemma enerjinya.
berpengaruh mendestabilisasi ... aliran minyak ke pasar-pasar internasional dari Timur Tengah”.
Dokumen itu diserahkan kepada kelompok tugas untuk penanggulangan enerji pada kantor wakil presiden Dick Cheney, laporan itu merekomendasikan, bahwa bila aliran minyak itu sampai terganggu, maka hal itu akan dapat menjadi resiko yang tidak bisa dipikul oleh pemerintah Amerika Serikat, karena itu “intervensi militer” adalah sesuatu yang diperlukan (Tabloid Sunday Herald, October 6, 2002).
Bukti lainnya sehubungan dengan rencana invasi ke
Tetapi ketika Taliban menolak syarat-syarat yang disorongkan, wakil Amerika Serikat dalam perundingan itu mengancam dengan angkuh, “atau anda menerima tawaran kami berupa karpet emas, atau kami akan kubur anda dengan karpet bom” (Inter Press Service, November 15, 2001).
Dengan latar-belakang semacam ini, tidaklah mengagetkan bila beberapa kalangan memahami mengapa Amerika Serikat tidak terlalu bergairah mencegah terjadinya peristiwa 11 Septeber 2001 yang memang diciptakan sebagai dalih yang dianggapnya paling pas untuk menghukum Afghanistan dalam sebuah perang yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
Sebenarnya telah ada preseden sebelum ini. Arsip nasional Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Presiden
Beberapa peringatan pendahuluan akan adanya serangan terhadap
Cetak-biru PNAC yang disiapkan pada bulan September 2000 menegaskan bahwa proses mentranformasi Amerika Serikat menjadi “kekuatan masa depan yang dominan” hanya bisa terjadi dalam tempo yang lama, kecuali bilamana ada “suatu bencana dan peristiwa yang menjadi katalisator . layaknya sebuah Pearl Harhor yang baru”.
Serangan pada 11 September 2001 memungkinkan pemerintah Amerika Serikat menekan tombol “go” melaksanakan strategi sesuai agenda PNAC yang secara politik yang normal mustahil bisa diimplementasikan.
Motivasi yang mendorong tabir-asap politik itu ialah baik Amerika Serikat maupun Inggeris telah mulai kehabisan suplai enerji hidro-karbon yang aman. Menjelang tahun 2010 Dunia Islam akan menguasai sebanyak 60% dari produksi minyak dunia, dan yang lebih penting lagi mereka menguasai 95% dari kapasitas cadangan minyak bumi dunia yang tersisa untuk ekspor. Sejak dasawarsa 1960-an kebutuhan kian meningkat sementara suplai kian tipis.
Keadaan ini membuat Amerika Serikat dan Inggeris makin tergantung dari suplai minyak luar-negeri. Amerika Serikat yang pada 1990 produk minyak dalam negerinya hanya mampu menutup 57% dari tuntutan kebutuhan, sementara ladang-ladang dalam-negerinya hanya menghasilkan tidak lebih dari 39% kebutuhan pada 2010.
Menteri enerji Inggeris menyatakan negeri itu akan menghadapi masalah suplai yang lebih parah, bahkan telah dimulai pada tahun 2005. Pemerintah Inggeris telah menyiapkan kebijakan dimana 70% dari kebutuhan listriknya terpaksa akan menggunakan gas bumi sebagai pengganti minyak mulai tahun 2020, dan 90% dari gas bumi tersebut harus diimpor dari luar.
Dalam hubungan itu patut disimak
Dalam rangka melakukan diversifikasi rute untuk kepentingan pengamanan dan pemasaran minyak Kaspia, sebuah jalur pipa diusulkan untuk dibangun ke arah barat dari
Inggeris juga tidak lepas dari ramai-ramai ikut keroyokan untuk menguasai cadangan hidro-karbon dunia yang masih tersisa, dan hal ini menjelaskan sebagiannya mengapa Inggeris dengan bersemangat mendukung aksi-aksi militer Amerika Serikat di Asia Tengah dan Timur Tengah. Lord Browne, bos BP (dulu namanya British Petroleum, sekarang berganti menjadi “Beyond Petroleum”, karena Inggeris untuk kebutuhan masa depannya tidak hanya membutuhkan minyak, tetapi juga gas bumi, batu-bara, dan apa saja yang dapat dijadikan substitusi enerji minyak bumi), memperingatkan Washington agar jangan mengangkangi Iraq hanya untuk perusahaan-perusahaannya sendiri bila Perang Iraq berakhir (Sk. The Guardian,
Ketika menteri luar negeri Inggeris menemui Kolonel Ghaddafi di khaimahnya di Lybia pada bulan Agustus 2002, ia dilaporkan berkata, “Inggeris tidak menghendaki kalah dengan negara-negara Eropa lainnya yang tengah berebut bilamana saatnya tiba untuk mendapatkan kontrak pembagian ladang-ladang minyak yang menjanjikan keuntungan besar” dengan Lybia (BBC Online, August 10, 2002).
Kesimpulan dari seluruh analisis yang diangkat dari artikel tulisan mantan menteri Inggeris Michael Meacher di atas ialah bahwa apa yang disebut sebagai “perang global untuk menghabisi terorisme” mengusung ciri-ciri sebuah mitos politik yang diprogandakan untuk melicinkan jalan bagi sebuah agenda yang lain sama sekali . yakni, aspirasi Amerika Serikat untuk membangun hegemoni mendunia, dilakukan dengan cara kekerasan dalam rangka menguasai segenap pasokan minyak dan gas bumi yang dibutuhkan bagi hegemoninya tersebut. *(Michael Meacher, ‘This War on Terrorism is Bogus’, kolom yang ditulisnya dalam koran The Guardian, London, edisi September 6, 2003)
Presiden Bush Mengakui Merancang Invasi ke Afghanistan dan Iraq Jauh Sebelum Peristiwa 11 September * Mantan menteri keuangan dan ketua tim ekonomi pemerintahan Bush, Paul O’Neill, pada awal tahun 2004 menulis sebuah buku memoar, ‘The Price of Loyalty’, tentang masa jabatannya dalam pemerintahan George W. Bush.
Tidak terlalu mengejutkan ketika ia menyebut bahwa Presiden Bush telah mengeluarkan berbagai perintah kepada anggota dewan keamanan nasionalnya nyaris begitu ia dilantik pada bulan Januari 2001 (kurang lebih delapan bulan sebelum terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang dijadikan alasan untuk menghancurkan
Ternyata perintah itulah yang kemudian dijual kepada publik Amerika dan dunia sebagai “tindakan balasan” terhadap para “teroris” dan “negara-negara yang membahayakan” keamanan nasional Amerika. Dalam kesempatan wawancara Paul O'Neill dengan koresponden teve CBS, Lesley Stahl, dalam acara 60 Minutes pada tanggal 11 Januari 2004 mengulang kembali pernyataannya berkenaan dengan perintah Presiden Bush untuk menggulingkan Saddam Hussein sebagai prioritas pertama kebijakan nasional Amerika jauh sebelum peristiwa 11 September 2001.
Menurut Paul O’Neill, dalam sidang tersebut Bush menyatakan, “Dari awal kita meyakini Saddam Hussein itu orangnya jahat, karenanya ia harus dienyahkan”. Presiden Bush selanjutnya menegaskan, “Bagi saya, berdasarkan pemahaman tentang tindakan pre-emptif, Amerika Serikat memiliki hak unilateral untuk memutuskan apa saja yang dianggap perlu, hal itu merupakan lompatan besar”.
Juru-bicara Presiden Bush, Scott McClellan, menyanggah laporan dan kecaman O’Neill, katanya, “Presiden telah berusaha mencari segala jalan yang mungkin untuk memecahkan situsi di
Ternyata atas tuduhan yang dicoba diredam oleh para pejabat Gedung Putih, oleh Presiden Bush malah diakui sendiri ketika bertemu dengan Presiden Mexico Vincente Fox pada tanggal 12 Januari 2004. Kata Bush, “Seperti halnya pemerintahan sebelum saya, kami memang bertekad untuk menggulingkan rejim (Saddam Hussein)… Kami hanya menyempurnakan kebijakan sebelumnya, dan kemudian peristiwa 11 September terjadi, dan sebagai Presiden Amerika Serikat, kewajiban saya yang paling mulia adalah bagaimana melindungi keamanan bagi rakyat Amerika. Saya memikul tugas itu dengan sangat sungguh-sungguh dan kami bukan hanya berurusan dengan Taliban, kami bekerja-sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
masyarakat internasional, dan membuat jelas Saddam Hussein harus dilucuti”. Ketika ia ditanya bahwa Amerika Serikat justeru melucuti Saddam tanpa menggubris peringatan dari dunia internasional, Bush menjawab, “Bukankah sekarang ia sudah tidak lagi berkuasa dan dunia kini merasa lebih aman”.
Paul O’Neill menyamakan sidang kabinet Presiden Bush laksana “orang tuli dalam ruangan yang penuh dengan orang tuli”. Kecaman Paul O’Neill memang membuat kaget
Kesimpulan
Apa yang selama ini menjadi keragu-raguan telah dibuat jelas oleh berbagai tokoh dan Joint Senate Investigation Commission, bahkan oleh Presiden Bush sendiri yang menjadi sumber kemelut yang berasal dari pernyataannya sendiri “perang membasmi terorisme” . bisnis minyak dan terorisme oleh sebuah negara yang mengklaim diri sebagai imperium dunia yang baru, ternyata saling berkait satu dengan lain seperti benang dengan kelindannya.
Bagi kalangan yang selama ini membuta-tuli mengekor kepada Bush karena takut dengan ancaman “If you’re not with us, you’re against us”, atau mereka yang memanfaatkan kesempatan untuk menangguk di air keruh, melalui berbagai sumber yang merupakan tokoh-tokoh negara dari Inggeris dan Amerika Serikat sendiri yang sepenuhnya dapat dipercaya, kini menjadi jelas, bahwa selama ini Dunia Islam dan kaum muslimin hanyalah menjadi korban fitnah dari suatu persekongkolan yang keji.
Artikel ditulis oleh ZA Maulani dalam bedah buku Stranger than Fiction, Independent Investigation of 9-11 and The War on Terrorism karya DR. Albert D. Pastore, Ph.D. pada tanggal 8 April 2004 di musholla Al Barokah Gd. Cyber.
Musholla Al Barokah Gd.
Cyber, Kuningan Barat No. 8 Jakarta
12710 18
Minggu, 30 September 2012
Dilema Outsourcing
Dilema Outsourcing
(Konsep dan Implementasi)
Oleh: Andika Asykar
A. Pendahuluan
Untuk memudahkan semua investor dalam
menyerap tenaga kerja, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang pro investasi
khususnya tentang penyerapan tenaga kerja yaitu dengan dengan mengeluarkan
kebijakan “Sistem Kerja Kontrak” dan “Sistem Outsourcing”
(Kerja Pemborongan)labor market flexibility (pasar buruh lentur), yang diatur
dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tepatnya pada pasal 56-60
(Kerja Kontrak), 64-66 (Outsourcing).
Padahal, awalnya, semangat pemerintah mengeluarkan pasal-pasal tersebut agar
terjadi kondusifitas hubungan antara buruh dan pengusaha sehingga membuat para
investor bersedia menanamkan investasinya di Indonesia, yang kemudian akan
diharapkan banyak menyerap tenaga kerja baru.
Pada awal kebijakan ini dikeluarkan,
keadaan yang selama ini diharapkan oleh pemerintah memang muncul yaitu banyak
investor yang mendirikan pabrik-pabrik yang berimplikasi pada naiknya jumlah
penyerapan tenaga kerja sehingga cukup bisa mengurangi jumlah pengangguran.
Namun, seiring berjalannya waktu tak sedikit perusahaan-perusahaan yang
kemudian tetap menjalankan “sistem outsourcing”
tapi tak mengindahkan peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah.
Sangat jelas bahwa telah terjadi disimplementasi kebijakan yang dilakukan oleh
perusahaan. Hal ini, membuat pihak pekerja atau buruh yang dirugikan karena
hak-hak mereka dikesampingkan oleh para pemilik modal yang ingin mencari
keuntungan belaka. Untuk itu, menarik kiranya untuk mengkaji Bagaimana
Kebijakan Outsourcing di Indonesia?
A. Pembahasan
1. Aturan Outsourcing
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (Orba),
sudah menjadi budaya rutin setiap tanggal 1 Mei digunakan untuk merayakan hari
buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Mayday” oleh semua
buruh di Indonesia .
Setiap perayaan hari buruh sudah menjadi hal yang lazim diwarnai dengan
berbagai aksi long march dan demonstrasi di seluruh pelosok
nusantara. Sejumlah konfederasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KSBSI dan
KASBI menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan hak-hak mereka. Isu penting
yang menjadi titik berat pada aksi 01 Mei 2012 adalah penghapusan sistem outsourcing. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa semangat yang diemban oleh pemerintah dalam mengeluarkan
sistem Outsourcing ini baik, tetapi justru pada
perayaan May Day beberapa hari yang lalu justru banyak para buruh yang
meneriakan penolakan pada sistem tersebut.
Untuk mengetahui detail mengapa
kebijakan outsourcing itu menyimpang di lapangan perlu
dilihat kembali konsep yang ada dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, khususnya mengenai sistem outsourcing dalam skema pasar buruh lentur
diterjemahkan melalui pasal 64-66. Berikut rumusan sebagian pasalnya yang
perlu dicermati:
Tabel I
Skema Aturan Outsourcing
Dalam UU No. 13 Tahun 2003
Outsourcing
|
|
Pasal
64
|
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau
|
Pasal
65
|
(2)
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara
langsung.
|
Pasal
65
|
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) dapat didasarkan atas
perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
|
Pasal 66
|
(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tidak
boleh digunakan oleh
pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
|
Pasal
66
|
(4)
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a,
huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
|
Source: UU No. 13 Tahun 2003
2. Realita di Lapangan
Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah
mengeluarkan putusan uji materi pada pasal yang mengatur kebijakan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan, adanya
putusan tersebut, sebenarnya justru telah melegitimasi keabsahan outsourcing. MK hanya
menyatakan bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional)
terhadap pasal 65 (7) dan pasal 66 (2) huruf b UU Ketenagakerjaan (Jawa Pos,
18 Januari 2012). Putusan MK tersebut sama sekali tidak membatalkan
ketentuan-ketentuan outsourcing, tetapi hanya memastikan bahwa dalam outsourcing, hak-hak pekerja yang direkrut
melalui sistem outsourcing harus dipenuhi layaknya pekerja utama
perusahaan. Salah satu masalah yang belum mengalami titik temu hingga kini
yaitu antara pekerja/buruh dan pengusaha adalah mengenai penggunaan pekerja
melaui outsourcing. Sistem outsourcing dianggap telah membohongi dan bahkan
mengeksploitasi pekerja/buruh. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah betul
sistem outsourcing yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan
itu melanggar hukum perburuhan? Atau permasalahanan justru ada pada
implementasi outsourcing yang tidak sesuai dengan
perundang-undangan.
Untuk itu ada beberapa hal yang patut
di evaluasi kembali dalam kebijakan tersebut.Dalam Studi Analisis Kebijakan
Publik, maka salah satu cabang bidangkajiannya adalah Evaluasi Kebijakan.
Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan, karena pada dasarnya setiap kebijakan
negara (public policy)mengandung
resiko untuk mengalami kegagalan. (Abdul Wahab, 1990 : 47-48), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn
(1986), selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab dari kegagalan suatu kebijakan(policy
failure) dapat dibagi menjadi
2 katagori, yaitu : (1) karena “non implementation” (tidak terimplementasi), dan (2) karena “unsuccessful” (implementasi yang tidak berhasil). Tidak terimplementasikannya suatu
kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan di
rencanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila
suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan
mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan outsourcing tersebut tidak dapat berhasil dalam
mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki.
Perlu dijelaskan kembali bahwa outsourcing yang ada dalam UU Ketenagakerjaan
(UUK) dipahami sebagai pengalihan pekerjaan oleh perusahaan pengguna kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja atau pemborongan. Dalam UUK ditentukan bahwa
pekerjaan yang boleh dialihkan kepada perusahaan outsourcing/perusahaan penyedia
jasa pekerja (PPJP) adalah pekerjaan yang sifatnya menunjang saja. Pekerjaan
utama yang berkaitan dengan proses produksi atau proses berjalannya perusahaan
itu dilarang di-outsourcing-kan. Yang menjadi dasar dibolehkannya outsourcing tersebut adalah untuk tercapainya
efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan kegiatan utama perusahaan
tersebut. Untuk mencapai efektivitas tersebut, pekerjaan yang sifatnya
penunjang dapat dialihkan kepada PPJP. Perusahaan pun bisa berkonsentrasi
kepada kegiatan utama perusahaan. Dengan berkonsentrasi kepada kegiatan utama,
perusahaan bisa memaksimalkan produktivitas.
Ketentuan lain yang harus dipenuhi
untuk outsourcing bahwa perusahaan outsourcingharus dalam bentuk
badan hukum dan memiliki izin operasional sebagai perusahaan outsourcing. Keharusan perusahaan outsourcing berbadan hukum itu adalah untuk
menghindari orang-perorangan melakukan usaha outsourcing sehingga tidak disalahkangunakan
oleh individu-individu yang ingin mencari keuntungan. Selain itu, yang lebih
membahahayakan lagi adalah jika orang-perorangan melakukan usaha outsourcing dapat disamakan dengan usaha
perbudakan, orang dapat menjual orang. Sedangkan tujuan utama perusahaan
penyedia jasa atau layanan outsourcing memiliki izin operasi adalah untuk
memudahkan pengawasan pemerintah atas praktik outsourcing.
Konstruksi hukum outsourcing dalam UUK tersebut sebenarnya sudah
tepat. Bahkan, jika ketentuan-ketentuan yang dalam UUK itu ditaati, outsourcing tidak merugikan pekerja. Namun
demikian, yang terjadi di lapangan adalah banyaknya penyimpangan dan
penyalahgunaan outsourcing oleh perusahaan. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan outsourcing tersebut, antara lain, meng-outsourcing-kan
pekerjaan utama kepada perusahaan outsourcing,
perusahaan outsourcing tidak berbadan hukum, tidak
didaftarkannya perjanjian outsourcing di dinas tenaga kerja, dan penyunatan
upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Penyimpangan pertama, banyaknya
pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal, UUK sudah secara tegas
melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama. Betapa bisa kita lihat
penyalahgunaan model itu, misalnya, perusahaan bank yang meng-outsourcing-kan
pekerja teller dancollector kredit serta perusahaan manufaktur
yang juga meng-outsourcing-kan pekerja-pekerja inti dari kegiatan
manufaktur tersebut. Belum lama ini terjadi peristiwa yang mengenaskan. Yakni,
nasabah kartu kredit sebuah bank ternama di Jakarta dianiaya di kantor bank oleh debt collector bank tersebut. Dan diduga, debt collector tersebut adalah pekerja sewaan (outsourcing).
Kejadian pembakaran perusahaan di Drydock Batam adalah contoh yang lain akibat
dari penyimpangan ketentuanoutsourcing (Jawa Pos, 19 Januari 2012).
Penyimpangan kedua, banyak perusahaan outsourcing yang tidak memenuhi syarat. Misalnya,
tidak berbadan hukum maupun tidak memiliki izin operasi. Modus penyimpangan itu
adalah badan usaha yang tidak berbadan hukum, misalnya CV dan firma, ikut
menjalankan usaha outsourcing.Banyak
pula perusahaan outsourcing, meskipun sudah berbadan hukum, tidak
memiliki izin operasi menjalankan usaha outsourcing.
Ketiadaan izin operasi itu menyulitkan pengawasan oleh dinas tenaga kerja
setempat. Sering terjadi perusahaan outsourcing abal-abal tersebut menghilang tanpa
jejak ketika terjadi pelanggaran hak-hak normatif atas pekerja. Pekerja sulit
menuntut hak-haknya setelah menjalankan semua kewajibannya.
Penyimpangan ketiga, terjadinya
pemotongan upah pekerja oleh perusahaan outsourcing.
Banyak terjadi upah para pekerja dipotong oleh perusahaan outsourcing. Padahal, perusahaanoutsourcing telah memperoleh management fee dari perusahaan pengguna. Yang lebih
tragis lagi, jumlah upah setelah dipotong tersebut kurang dari ketentuan jumlah
upah minimum. Itu jelas pelanggaran hukum perburuhan dan bahkan pelakunya bisa
dipidana karena melakukan kejahatan pengupahan. Banyaknya penyalahgunaan outsourcing tersebut menambah panjang penderitan
buruh/ pekerja di sektor formal. Namun demikian, minat buruh untuk bekerja
melalui outsourcing tetap akan membeludak, mengingat
minimnya kesempatan kerja jika dibandingkan dengan jumlah pekerja.
B. Kesimpulan dan Rekomendasi
Dari penjelasan di atas dapat diambil
beberapa poin penting yaitu bahwa sebenarnya semangat yang ingin dibangun oleh
pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan outsourcing itu baik berdasarkan
penjelasan UUK yaitu memberi kemudahan pada perusahaan agar bisa merekrut
pekerja yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan utama menggunakan
sistem outsourcing. Namun, implementasinya banyak
perusahaan yang kemudian menyimpang dari apa yang telah diatur dalam UUK
misalnya: banyaknya pekerjaan utama yang di-outsourcing-kan. Padahal,
UUK sudah secara tegas melarang meng-outsourcing-kan pekerjaan utama,
banyak perusahaan outsourcing yang tak berbadan hukum, banyak
pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan outsourcing.
Karena itu dalam hal ini penulis
memberi rekomendasi yaitu jalan terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah
mengoptimalkan pengawasan dari pemerintah, dalam hal ini dilakukan dinas tenaga
kerja setempat.Fungsi pengawasan pemerintah adalah untuk memastikan
implementasi ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur outsourcing sesuai dengan perundang-undangan
bidang hukum perburuhan. Sebab, yang menjadi akar masalah adalah bukan norma
yang mengaturoutsourcing, melainkan
masalah implementasinya. Ketentuan outsourcing dalam UUK sudah baik, hanya
pengimplementasiannya yang disalahgunakan dan disimpangi oleh pengusaha.
Http://nasional.kompas.com/read/2012/01/21/22270675/Inilah.Putusan.MK.Soal.Penghapusan.Outsourcing
Kamis, 02 Agustus 2012
LELAKI SEJATI
Laki-laki Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar.. Tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya. …
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang .. Tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran… ..
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya.. Tetapi dari sikap bersahabatnya pada sesama manusia …
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja.. Tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah…
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan.. Tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan…
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang.. Tetapi dari hati yang ada dibalik itu…
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari banyaknya wanita yang memuja… Tetapi komitmennya terhadap wanita yang dicintainya. ..
Laki-laki sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan… Tetapi dari tabahnya dia menghadapi lika-liku kehidupan…
Lelaki Sejati impian Sejati Perempuan~*~
Senin, 30 Juli 2012
KESUNGGUHAN HATI
Di kisahkan ada dua orang pemuda yang sedang mencari pekerjaan di kota. Karena, sulitnya mencari pekerjaan yang layak, memaksa mereka bekerja di sebuah proyek pembangunan untuk perumahan elite.
Namun, walaupun mereka bekerja di tempat yang sama, tugas yang mereka dapatkan berbeda.
Pemuda pertama dengan tubuh besarnya di suruh oleh mandor untuk mengerjakan pekerjaan yang terlihat mudah yaitu membuat beberapa pintu dan jendela yang terbuat dari kayu. Dan, pemuda kedua yang terlihat lebih kecil dari pemuda pertama justru di suruh oleh mandor mengerjakan pekerjaan yang terlihat sulit yaitu menyusun batu bata dan mengaduk semen.
Mendengar apa yang di katakan pak mandor pemuda pertamapun merasa bahagia karena ia merasa pekerjaan yang di berikan terlalu mudah mengingat badannya yang besar sehingga menurutnya tidak perlu sungguh- sungguh dalam bekerja, sedangkan pemuda kedua merasa pekerjaan yang diberikan pak mandor sebagai tantangan yang harus di selesaikan dan perlu kesungguhan untuk menyelesaikannya. Dan, setelah pembagian tugas selesai di berikan pak mandor menganta pemuda pertama menuju tempat bekerjanya dan betapa kagetnya pemuda ini ketika dia melihat pintu dan jendela yang harus di selesaikan berbentuk ukiran yang mempunyai tingkat kerumitan cukup tinggi karena desain rumah yang akan di buat bergaya tradisional. Pak mandor kemudian memanggil salah satu pekerjanya, dan berkata “Pak tolong ajarkan pemuda ini mengukir dengan baik ya.”
“Baik pak,” kata pekerja tersebut sambil membawa pemuda pertama tadi menuju tempat di mana tergeletaknya kayu yang harus di ukir. Dan, karena sikapnya yang tidak sungguh-sungguh saat mengerjakan pekerjaan yang di anggapnya mudah membuatnya berulang kali melakukan kesalahan meski telah diajari berulang kali. Hal yang berbeda justru terlihat dari pemuda kedua, tampak dari jauh dia melakukan pekerjaan tanpa melakukan kesalahan meski hanya sekali di ajarkan. Karena, pemuda kedua terlihat mudah untuk memasang batu bata, terbesit niatan dari pemuda pertama untuk bertukar tempat. Agar kesalahan yang dia lakukan saat mengukir tidak ketahuan oleh mandornya. Dan, dia pun menghampiri pemuda kedua tadi, “hai kawan, kau terlihat lelah, jadi ijinkan aku untuk menggantikanmu menyusun batu bata ini dan kamu silahkan istirahat di sana sambil menggantikanku untuk mengukir kayu,” kata pemuda pertama. Pemuda kedua pun menyetujuinya, dan pergilah pemuda kedua menuju tempat di mana tergeletaknya kayu yang harus di ukir.
Dan, sore hari ketika pak mandor melihat hasil kerja beberapa pegaiwainya, dia melihat ada satu pintu yang terlihat bagus ukirannya, dan kemudian sambil memegang pintu tersebut dia pun bertanya kepada semua pegaiwanya, “Siapa yang mengukir pintu ini?”
“Pemuda ini pak,” kata salah satu pegawainya sambil menepuk pundak pemuda kedua. Kemudian pak mandor menghampirinya dan bertanya, “Nak bagaimana kau bisa melakukannya?”
“Sederhana pak caranya, kuncinya adalah bekerja dengan ketulusan dan kesungguhan, karena saat kita mendengarkan apa yang diajarkan dengan hati yang tulus maka kita akan mudah memahaminya, dan setelah kita memahami bagaimana caranya, kita tinggal bekerja dengan kesungguhan agar hasil yang di ciptakan menjadi karya yang luar biasa.”
Sahabatku yang bahagia,
Lebih sering dari pada tidak ketika kita merasa bahwa pekerjaan yang kita dapatkan itu lebih mudah dari kemampuan yang kita miliki, kita lebih sering menyepelekannya dan tak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Padahal semudah apapun pekerjaan yang kita lakukan, akan terasa sulit jika kita mengerjakannya tidak dengan kesungguhan begitupun sebaliknya. Ingatlah, bahaya terbesar untuk kita semua bukan karena pekerjaan kita terlalu sulit sehingga kita kesulitan mengerjakannya, tetapi karena pekerjaan kita terlalu mudah sehingga kita tidak sungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Jadi, sudah selayaknya jika kita tidak ingin terjebak dalam bahaya terbesar dalam kehidupan yang disebut kegagalan, kita harus mengerjakan pekerjaan dengan ketulusan dan kesungguhan terlepas dari mudah atau susahnya pekerjaan yang akan kita kerjakan.
Semoga bermanfaat
Rabu, 19 Oktober 2011
Langganan:
Postingan (Atom)